PEK BUNG
Oh ternyata, .... Pek Bung adalah genre musik yang tidak semua orang tahu.

Pek Bung
Oleh: Ida Luthfi
Kelompok Pek Bung adalah segerombolan anak muda pecinta musik religi di kampungku. Kenapa namanya Pek Bung? Karena kalau dimainkan, alat musik kami suaranya dominan “pek!” dan “bung!”—makanya cocok banget.
Tapi jangan bayangkan kami main musik pakai gitar, organ, apalagi terompet. Yang kami pakai adalah barang-barang bekas penuh kenangan yang ada di sekitar rumah. Asal bisa dipukul, diketok, dipetik, dan nimbulaken swara (mengeluarkan suara), langsung kami nobatkan sebagai alat musik resmi. Mulai dari potongan pralon, gentong plastik, tutup botol, peti telur, ban dalam bekas, sampai gendul orson—semuanya disulap jadi orkestra dadakan. Kalau main bareng, rasanya kayak denger konser beneran.
Setiap minggu kami latihan. Lagu-lagunya ya lagu Islami yang easy listening. Nah, kalau ada jadwal tampil alias manggung, intensitas latihan kami meningkat drastis. Semangat makin membara karena latihan kami ditonton tetangga—dari mbak-mbak nyapu sampai mbah-mbah yang bawa kursi sendiri biar bisa nonton dengan nyaman.
Setelah mulai jago dan suara “pek bung”-nya makin rapi, orderan mulai berdatangan. Biasanya kami diminta tampil di acara pengajian tingkat kelurahan. Penampilan kami selalu ditunggu-tunggu warga, karena waktu itu belum ada YouTube, TikTok, apalagi Spotify. Hiburan paling top ya nonton kami—band religi kampung dengan alat musik dari tempat sampah.
Keseruan sudah dimulai sejak siang hari. Semua personel gotong royong bikin panggung dari kayu dan bambu pinjaman. Setelah itu, giliran angkut alat musik yang bentuknya mirip dagangan rongsok. Bayangkan: kami semua manggung tanpa dibayar, logistik tanggung sendiri, termasuk kostum—karena itu udah bawaan dari rumah masing-masing (yang penting seragamnya batik, walau warnanya beda-beda).
Walaupun konsernya sederhana dan cuma pakai sound bekas pengajian malam Jumat, kehadiran kami bikin acara lebih hidup. Begitu kami naik panggung, tepuk tangan penonton langsung membahana. Rasanya kayak band besar yang tur ke kampung, padahal kami baru juga nyetel suara.
Sebagai vokalis, aku maju dengan penuh percaya diri level RT. Bak seorang diva ku sapa penonton dengan senyum manis. Tapi baru masuk bait pertama, aku salah ambil nada. Suaraku malah kecetit alias nggak nyampe—jadinya fals parah! Lirik yang tadinya hafal di luar kepala langsung ambyar kayak mimpi ketemu idola tapi bangun sebelum foto bareng. Tepuk tangan malah makin riuh, tapi bukan karena kagum—lebih ke tepuk tangan “semangat ya, dek” dari warga yang menahan tawa.
Tapi rasa malu itu tertutupi berkat backing vocal di belakangku yang megal-megol kiri-kanan, ikut joget padahal lagu religi. Penonton jadi lebih fokus ke mereka, bukan ke suaraku yang nyasar ke nada langit.
What's Your Reaction?






