TUKU OMONG
"Kalau mau yang lebih canggih, ada paket ‘Omong Benar'. Harganya beda lagi, Bu, tentu lebih mahal. Apalagi sekarang, omongan yang isinya 'kebenaran' itu sudah jadi barang mewah"

TUKU OMONG
Oleh : Rifqi Arsyad
Sitoh, begitu orang biasa memanggilku. Sapaan yang disematkan orang-orang bukan karena namaku Masitoh. Tapi lebih pada label bernada ejekan dari ciri fisikku. Setiap orang yang bertemu aku pasti salfok pada toh atau tanda lahir berbentuk lingkaran tak beraturan berwarna kemerahan yang melintang di pipi hingga kelopak mata kiriku. Ciri fisik yang begitu mencolok itu pun membuat orang-orang pasar mudah mengenaliku.
Sehari-harinya aku berjualan Sagon keliling pasar induk. Pada tiap lawatan dari kios ke kios, dari los ke los ada saja yang menyapaku. Sayangnya, mereka memanggil bukan untuk membeli Sagon daganganku. Kebanyakan menegur hanya untuk mengajak dopokan. Barangkali, dua pertiga waktu kerjaku isinya bergunjing dengan orang-orang pasar. Dari aktivitas rasan-rasan-ku, mungkin yang paling tidak nyaman justru anakku Isal. Isal yang kini usianya baru dua setengah tahun terpaksa selalu ikut bersamaku menjajakan Sagon. Tentu amat melelahkan bagi Isal ketika ikut berjualan seharian, ditambah lagi ia terpaksa menerima gunjingan dari partner gibah ibunya. Hampir setiap orang yang bertemu kami, menyapa dan mengajak Isal bercanda namun Isal hanya bergeming atau paling banter merespons dengan menangis. Anak seusianya memang seharusnya sudah bisa diajak bercakap-cakap tetapi terhitung Isal baru bisa mengucap kata yang banyaknya tak lebih dari jumlah pemain satu tim sepak bola. Pelanggan dagangan dopokan-ku saling berkomentar dan memberikan petuah-petuah agar Isal segera bisa bicara. Mulai dari sekadar saran untuk aku lebih sering mengajak Isal ngobrol sampai keharusan membeli keterampilan berbicara (tuku omong).
Kata Yu Sri pedagang ikan asin, dulu anaknya juga ‘telat ngomong’ lalu ia mengikuti orang-orang pasar untuk tuku omong dan berhasil membuat anaknya bisa berceloteh. Dari petuah-petuah baik para pengamal tuku omong, aku pun tertarik ingin mempraktikannya.
Dengan sedikit kenekatan dan celengan dari hasil jualan Sagon yang tak seberapa, aku memberanikan diri bertanya kepada Yu Sri di mana tempat 'tuku omong' itu. Yu Sri tersenyum simpul, lalu berbisik, "Di sana, Toh. Di ujung pasar, dekat pos keamanan. Tapi jangan kaget kalau harganya di luar nurul."
Aku pun bergegas mendatangi tempat yang ditunjuk Yu Sri. Bukan sebuah toko, melainkan sebuah lapak kumuh yang ditutupi terpal lusuh. Di depannya, terpampang spanduk tulisan tangan yang terkesan buru-buru: "Pusat Keterampilan Berbicara: Garansi Omong Lancar”. Seorang bapak-bapak berkumis lebat, dengan tatapan mata penuh perhitungan, menyambutku. Ia memperkenalkan diri sebagai Pak Lik Sugih, "Konsultan Omongan Profesional."
"Mau omongan jenis apa, Bu?" tanyanya tanpa basa-basi. "Kami sedia semua, dari omongan manis, omongan pedas, sampai omongan ngawur pun ada."
Aku mengerutkan kening. "Maksudnya, Pak Lik? Saya mau Isal bisa bicara, bisa ngomong seperti anak lain pada umumnya."
Pak Lik Sugih tertawa renyah, tawa yang terdengar lebih seperti suara koin recehan berjatuhan. "Oh, kalau cuma itu, murah, Bu. Tinggal pilih paketnya. Paket 'Celoteh' harganya sekian juta. Anak Ibu nanti bisa ngoceh tentang kartun, mainan, atau makanan kesukaan. Standar, lah."
"Jutaan, Pak Lik?!" mataku terbelalak. "Cuma untuk ngomong soal kartun?"
"Ya iyalah, Bu. Namanya juga standar. Kalau mau yang lebih canggih, ada paket ‘Omong Benar'. Harganya beda lagi, Bu, tentu lebih mahal. Apalagi sekarang, omongan yang isinya 'kebenaran' itu sudah jadi barang mewah. Makin berat isinya, makin mahal harganya," jelas Pak Lik Sugih sambil mengelus kumisnya. "Coba saja hitung, berapa orang yang berani menyuarakan kebenaran tanpa takut dipersekusi bahkan dibui?"
Aku pun termenung. Pikirku, ini toh cuma bikin anak bisa ngomong, kenapa jadi semahal dan serumit ini?
Sambil melirik Isal yang tertidur pulas di gendonganku, aku mendadak punya ide. "Pak Lik," kataku, "kalau paket 'Omongan yang aman-aman aja', ada?"
Pak Lik Sugih mengernyitkan dahi lalu dengan sedikit berteriak. "Oh Ada! itu namanya paket 'Omongan Aman Damai Sentosa', Bu. Paling laku! Isinya cuma tau cara bilang 'iya', 'siap', dan 'laksanakan'. Dijamin bebas risiko, Bu. Malah kadang lebih diapresiasi. Harganya masih diskon! Mau?" (mo)
What's Your Reaction?






