AYRASHOFIA
AYRASHOFIA,
Tantang Guru Yang Nggak Sopan
"Bapak setelah kantor sibuk apa nggak?" tanya Ayra lewat pesan WA.
"Nggak, kenapa?" jawab Rama, ayah Ayra.
"Jemput Ayra sepulang sekolah bisa?"
"Dengan senang hati" jawab Rama.
Dalam hati Rama membatin "Ada apa gerangan?", Ayra tidak biasanya minta dijemput sepulang sekolah, meski hujan deras sekalipun. Ah.. paling Ayra mau membawa barang-barang dari sekolah, sebab dari kelas ke jalan umum jika berjalan lumayan jauh dan jika naik angkutan umum pasti repot bawa barang banyak. Tapi Rama nggak bertanya lagi, biarkan nanti juga tahu kalau sudah ketemu.
Jam 16.00 WIB alam jam pulang kantor berbunyi, Rama langsung menuju sekolah Ayra. Ayra nampak cemberut namun tidak ada barang yang dibawa kecuali tas sekolah yang nangkring di punggungnya. Ayra masuk ke mobil, meletakkan tas di jok belakang, merapikan duduk dan Rama pun mengucap salam dan berkata,
"Ada cerita apa hari ini?"
"Kok bapak tahu kalau Ayra pengin cerita?" kata Ayra dan melanjutkan tanpa menunggu Rama menjawab, "Jadi tadi pelajaran seni budaya. Coba bayangkan pak, semangat teman-teman untuk membuat koreografi sungguh sangat luar biasa. Hari sabtu dan minggu mestinya libur tapi kami tetap latihan tidak kenal lelah. Diwaktu-waktu senggang diantara pergantian mata pelajaran kami berlatih, sampai diliatin orang-orang. Semua itu dilakukan agar menjadi karya tarian yang sempurna, setidaknya kekompakan gerakan tari kami terlihat bagus. Tapi apa coba, Pak. Gurunya nggak memperhatikan tarian kami, main HP malah ditinggal pergi ke luar kelas segala" ocehan Ayra tanpa putus. Rama nggak menyela, biarkan semuanya ditumpahkan dulu batin Rama. Cape, kesal, jengah dan mungkin juga lapar, sebab makan siang gratis yang diterima Ayra tidaklah mencukupi untuk kebutuhan nutrisi hari itu.
" Makan yuk, Ayra mau makan apa?"
"Sop Bu Mei"
*
"Jadi guru mestinya nggak begitu, masa kelompok lain ada yang di foto segala. sementaraa kelompok Ayra dilihatin saja tidak. Nanti kalau nilai Ayra jelek gimana, bukannya kita yang nggak berusaha, tapi gurunya saja yang nggak memperhatikan" cerocos Ayra setelah makan dan kembali duduk di jok mobil, "protes boleh tidak Pak? Kalau sampai nilai di rapot nantinya jelek" .
Ayra tediam dengan muka kesal menekan emosi yang siap meledak.
"Ayra, memang tidak ringan berinteraksi dengan orang yang merasa superior. Gurumu itu merasa dirinya yang paling baik, yang paling pinter dan yang paling berkuasa. Tetapi itu adalah masalah gurumu bukan masalahmu", kata Rama berempati.
"Tapi masalahku juga kalau nilaiku nanti jelek" sergah Ayra.
"Benar, tapi itu adalah faktor eksternalmu. Masalah nilai rapot adalah kewenangan gurumu. Jika kamu protes, bapak pikir guru semacam itu tidak memiliki kemampuan untuk mendengar. Telinganya tertutup rasa superior dan bahkan anak didik dianggap sebagai sub ordinatnya", kata Rama sedikit meninggi, bukan marah tapi sekedar memberikan penekanan bahwa kondisi saat ini melakukan protes bukanlan waktu yang tepat.
Di lampu merah mobil berhenti, Rama membuka kaca jendela menyapa pengamen waria, lalu sambil memberikan lembar dua ribuan Rama berkata,
"Kata-kata hari ini?"
"Hidup ini berat, tapi lebih berat kalau mati. Itu mengapa orang mati digotong tidak jalan sendiri, ahaaiiii.... " jawab waria dengan kemayu.
Rama tersenyum, Ayra cuek tanpa senyuman.
"Bapak sarankan tidak perlu protes, biarkan saja sebab nilai kehidupanmu berinteraksi dengan lingkungan sosialmu itu jauh lebih penting dari pada sekedar nilai rapot" kata Rama setelah menutup jendela mobil "sebenarnya gurumu itu tidak sendang merendahkan kelompok tarimu, tapi dia sedang merendahkan dirinya sendiri...."
"Ahaaa....! BENAR..!" sahut Ayra dengan mata berbinar.
"Nah, itu dia. Dengan bersikap seperti itu maka dia tidak lagi mendapatkan penghormatan yang semestinya, sebagaimana umumnya penghormatan terhadap seorang guru. Jadi masalahnya ada di dia bukan pada dirimu" sambung Rama dengan semangat sebab telah menemukan frekuensi yang sama dengan anaknya,
"Ayra tidak perlu risau dan galau, sebab yang terpenting adalah bagaimana kamu menjalin pertemanan, semangat bekerja sama, kontribusi positif terhadap kelompok, berusaha tanpa mengenal putus asa, berkorban untuk kepentingan bersama. Nilai dari guru berlaku satu semester saja, nilai-nilai etika moral hasil dari pengalaman berinteraksi sosial berlaku seumur hidup. Jadi....."
"Iya, Ayra sudah dewasa.." sergah Ayra memutus obrolan sore itu " makasih ya Pak, Ayra sudah tenang sekarang. Ayra mengerti sekarang bahwa nilai-nilai kehidupan yang Ayra dapatkan jauh lebih penting dibanding dengan angka yang tertulis di dalam buku rapot"
Tamat.
What's Your Reaction?